Memutuskan untuk menjalani pernikahan jarak jauh, memang sebuah keputusan
besar yang harus saya ambil. Intensitas pertemuan yang jarang adalah salah satu
hambatan untuk menguji seberapa besar kualitas kepercayaan satu sama lain. Hampir
setahun menikah, saya terpaksa pisah tempat tinggal dengan suami sebab tuntutan
pekerjaan.
Tentu semua ini menyebabkan kami sangat menanti-nanti akhir pekan. Menantikan
kunjungan rutin yang selalu kami lakukan untuk melepas kerinduan. Sesekali,
saya berkunjung ke tempat suami. Lain waktu, giliran suami yang datang
mengunjungi.
Akhir pekan ini kebetulan saya mendapat giliran berkunjung. Jum’at sore
hingga Minggu, kami habiskan bersama. Dan seperti biasa, saya memilih Senin
pagi untuk pulang ke kota kelahiran. Sebelum pukul setengah enam pagi, kami
membelah jalan protokol yang lengang. Lalu berhenti di sebuah halte di seberang
tol Kapuas I. Di tempat itulah saya terbiasa menunggu bis antarkota yang akan
membentangkan jarak panjang bagi kami.
Pagi ini, tak seperti pagi biasanya. Serangan fajar yang disebabkan makanan
entah apa yang memasuki lambung saya tadi malam membuat saya sedikit agak
terlambat. Bis yang kerap saya tumpangi telah berangkat. Khawatir terlambat,
saya pun berinisiatif menaiki salah satu bis yang menunggu antrian
keberangkatan. Setelah hampir bosan menunggu selama tiga puluh menit,
berangkatlah saya.
Nah, dari sinilah ujian kesabaran dimulai. Sama sekali di luar perkiraan, bahwa bis yang saya tumpangi termasuk kategori bis yang (buat saya) kurang layak beroperasi. Tanya kenapa? Baru saja memulai perjalanan, asap pembuangan menyergap hidung saya dengan semena-mena. Asap hitam hasil pembakaran itu masuk ke dalam, melalui celah kecil di lantai bis yang berlubang karena karat.
Po-lu-si. Hanya kata itu yang dapat saya eja. Segera saya mengobrak-abrik
tas punggung yang saya bawa. Mencari masker bermotif kelinci yang biasanya
tersimpan rapi di dalamnya. Tapi, sepertinya kesabaran saya masih diuji. Masker
mungil berwarna putih itu tak saya temukan jejaknya di sana.
Akhirnya dengan wajah nelangsa, saya terpaksa pindah ke kursi yang dekat
dengan pintu. Mencari udara yang lebih layak hirup. Walaupun, harus berjibaku
melawan hawa dingin tak apalah. Dari pada saya harus menghirup gas buangan. Masih
mendingan jika yang dibuang itu karbondioksida, kalo karbonmonoksida gimana? Yang
ada sebelum sampai tujuan, saya sudah KO duluan. J
Permasalahan selesai? Belum saudara-saudara. Belum seperempat perjalanan,
bis telah disesaki oleh puluhan penumpang. Kendati tak ada lagi bangku kosong,
namun tetap saja kondektur menampung semua penumpang. Hingga banyak diantara
mereka yang (terpaksa) harus bergelantungan.
Sebenarnya saya juga tak bisa meyalahkan mereka. Sebab, mereka punya
muara kepentingan yang sama. Penumpang perlu angkutan, pengemudi dan kondektur
perlu makan. Jadi, begitulah. Simbiosis mutualisme. Hanya saja dengan jumlah
penumpang yang semakin padat, saya merasakan kecepatan bis mulai menurun (emang
ada hubungan ya massa dan kecepatan?). J
Bisnya merayap terseok-seok. Seperti kura-kura. Lagi-lagi, saya berusaha
berpikiran positif. Mungkin saja, sopirnyatak berani mengebut karena merasa
(teramat sangat) bertanggung jawab terhadap keselamatan puluhan penumpang. J
Atau, mungkin bisnya sudah sangat renta. Sehingga akan membahayakan
keselamatan penumpang jika dipacu sekencang-kencangnya.
Akhirnya, saya berusaha berdamai dengan diri sendiri (yang telah mengomel
dalam hati). Seraya mencata tiga pelajaran berharga yang saya dapatkan.
Satu, sedia masker sebelum menempuh perjalanan. Masker menjadi barang
wajib yang harus kamu sediakan di dalam tas.
Dua, jangan bereksperimen dengan
makanan pedas, asam, atau makanan lain pemicu serangan fajar pada malam hari
sebelum kamu bepergian.
Dan yang ketiga, patuhi selalu alarm di jam weker
supaya kamu nggak terlambat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar