Jumat, 06 Februari 2015

Resonansi


Aku meremas jemari perlahan. Mencoba mengusir hawa sejuk yang menyapa halus. Suhu udara di ruangan seluas lima puluh empat meter persegi ini kontras dengan suhu siang hari khatulistiwa yang panas. Mungkin, dua buah mesin pendingin berukuran raksasa yang menempati sudut ruangan menjadi penyebabnya.
Hmm... kuhembuskan nafas perlahan. Sesekali melirik Bu Almira, perempuan berbalut jas biru muda di depanku. Sepertinya belum ada tanda-tanda bahwa wanita cantik berkerudung itu akan mengakhiri kebisuan yang tercipta di antara kami meski setengah jam telah berlalu. Beliau tampak serius membolak-balik halaman tertentu tugas akhirku yang cukup tebal. Membaca dengan detail tiap kalimat yang kusajikan, lalu mencoret beberapa bagian dengan kejam. Membuatku menahan nafas untuk beberapa saat. Sesak.
Killer, perfeksionis dan idealis. Demikian label yang disematkan teman-temanku pada wanita diambang empat puluh itu. Tentu hal tersebut membuat hampir seluruh mahasiswa seangkatanku enggan jika harus berurusan dengan beliau. Dan akulah yang paling beruntung. Mendapat kesempatan emas untuk berhadapan langsung dalam sidang skirpsi yang digelar empat bulan silam.
Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat itu, campur aduk jadi satu. Euforia. Sebab, ketua dewan pengujiku adalah lulusan terbaik salah satu universitas bergengsi di Indonesia. Sekaligus muncul perasaan khawatir untuk berhadapan dengan beliau yang terkenal menakutkan di seantero kampus. Terbukti, waktu empat jam yang disediakan, menjadi semarak dengan perang argumen bersahut-sahutan, antara aku dan beliau.
Begitulah. Setelah sidang berakhir, aku masih harus berjibaku merampungkan seabrek revisi yang ia oleh-olehkan kepadaku.
Jemari lentik itu meletakkan tulisan setebal dua ratusan halaman itu tepat di hadapanku, tanpa suara. Sontak kurapalkan lagi doa Rabithah yang selalu kuulang berkali-kali, khusus untuknya. Berharap do’a itu mampu membuat hati Bu Almira beresonansi dan sedikit melunak. Aku percaya pada kekuatan do’a yang begitu dahsyat.
Namun, pernyataan retoris yang keluar dari pemilik bibir tipis itu, kembali membuatku lemas, “Masih ada beberapa bagian tak penting yang harus dihilangkan!”
 Sementra aku mengangguk lemah seraya membayangkan akan ada revisi kesekian dari dosen perfeksionis itu.
Kepalaku terangguk lemah. Bayangan revisi entah keberapa yang harus kuselesaikan menari di depan mata. Kutarik tulisan itu perlahan untuk menemukan bagian tak penting seperti yang beliau katakan.
Aku terpaku ketika mataku menangkap satu goresan mungil di sudut halaman pertama. Pada lembaran yang berisi pengesahan dewan penguji itu, terdapat paraf samar milik Bu Almira.
“Setelah dijilid rapi, baru saya tanda tangan,” ujarnya seperti memahami keterkejutanku. Aku mengangguk cepat. Mengucap terima kasih sambil menggumamkan hamdalah. Dan ia pun tersenyum. Tidak hanya dengan bibir, tapi matanya pun tersenyum kepadaku.
♥♥♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar