
Hmm...
kuhembuskan nafas perlahan. Sesekali melirik Bu Almira, perempuan berbalut jas
biru muda di depanku. Sepertinya belum ada tanda-tanda bahwa wanita cantik
berkerudung itu akan mengakhiri kebisuan yang tercipta di antara kami meski
setengah jam telah berlalu. Beliau tampak serius membolak-balik halaman
tertentu tugas akhirku yang cukup tebal. Membaca dengan detail tiap kalimat
yang kusajikan, lalu mencoret beberapa bagian dengan kejam. Membuatku menahan
nafas untuk beberapa saat. Sesak.
Killer,
perfeksionis dan idealis. Demikian label yang disematkan teman-temanku pada
wanita diambang empat puluh itu. Tentu hal tersebut membuat hampir seluruh mahasiswa
seangkatanku enggan jika harus berurusan dengan beliau. Dan akulah yang paling
beruntung. Mendapat kesempatan emas untuk berhadapan langsung dalam sidang
skirpsi yang digelar empat bulan silam.
Jangan
ditanya bagaimana perasaanku saat itu, campur aduk jadi satu. Euforia. Sebab,
ketua dewan pengujiku adalah lulusan terbaik salah satu universitas bergengsi
di Indonesia. Sekaligus muncul perasaan khawatir untuk berhadapan dengan beliau
yang terkenal menakutkan di seantero kampus. Terbukti, waktu empat jam yang
disediakan, menjadi semarak dengan perang argumen bersahut-sahutan, antara aku
dan beliau.
Begitulah.
Setelah sidang berakhir, aku masih harus berjibaku merampungkan seabrek revisi yang ia oleh-olehkan
kepadaku.
Jemari
lentik itu meletakkan tulisan setebal dua ratusan halaman itu tepat di
hadapanku, tanpa suara. Sontak kurapalkan lagi doa Rabithah yang selalu kuulang
berkali-kali, khusus untuknya. Berharap do’a itu mampu membuat hati Bu Almira
beresonansi dan sedikit melunak. Aku percaya pada kekuatan do’a yang begitu
dahsyat.
Namun,
pernyataan retoris yang keluar dari pemilik bibir tipis itu, kembali membuatku
lemas, “Masih ada beberapa bagian tak penting yang harus dihilangkan!”
Sementra aku mengangguk lemah seraya
membayangkan akan ada revisi kesekian dari dosen perfeksionis itu.
Kepalaku
terangguk lemah. Bayangan revisi entah keberapa yang harus kuselesaikan menari
di depan mata. Kutarik tulisan itu perlahan untuk menemukan bagian tak penting
seperti yang beliau katakan.
Aku
terpaku ketika mataku menangkap satu goresan mungil di sudut halaman pertama. Pada
lembaran yang berisi pengesahan dewan penguji itu, terdapat paraf samar milik
Bu Almira.
“Setelah
dijilid rapi, baru saya tanda tangan,” ujarnya seperti memahami keterkejutanku.
Aku mengangguk cepat. Mengucap terima kasih sambil menggumamkan hamdalah. Dan
ia pun tersenyum. Tidak hanya dengan bibir, tapi matanya pun tersenyum kepadaku.
♥♥♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar