12 Februari 2014, 18.17 WIB
Mobil ambulans yang kutumpangi melaju
kencang. Membelah malam yang mulai menurunkan kepekatan. Raungan sirine yang
terdengar nyaring, memelukku dalam kepiluan tak terelakkan.
Aku meremas jemari perlahan. Mencoba mengusir
dingin yang mulai merambati kaca jendela yang sedikit terbuka. Tak ingat lagi
aku mengenakan jaket yang diserahkan si sulung sebelum kami berangkat
meninggalkan pelataran rumah sakit sore tadi.
Sesekali mataku melirik ke jok belakang. Dan
mencoba berdamai dengan duka saat mendapati sisa-sisa air mata menggantung di
wajah putra-putriku.
Ini ujian,
aku harus kuat. Tanggung jawabku masih banyak. Ketiga anakku masih butuh
perhatian, kalbuku berbisik perlahan. Segera
kusatukan kembali keping-keping hati yang nyaris retak oleh kesedihan.
“Empat hari lagi ulang tahunku, inikah kado
yang Allah berikan?” samar kutangkap tanya putriku dengan suara serak. Kulihat
tangannya tak pernah melepas pelukan pada sosok tubuh dingin yang tertutup kain
batik dari kaki hingga kepala. Jenazah ayahnya, suamiku.
“Ini kado terbesar yang Allah berikan buat
kita. Kado kesabaran,” sulungku yang berusaha tegar, mencoba menenangkan
adiknya.
Air mata nyaris bergulir kembali. Mengingat
kepergian lelaki berusia enam puluh satu tahun yang kurasa begitu cepat. Lelaki
jenaka yang rela menghabiskan masa tua bersamaku itu menutup mata tepat tiga
hari setelah ulang tahun pernikahan kami yang ke tiga puluh.
Tak ada isyarat apapun yang ia kirimkan di
hari-hari terakhir kebersamaan kami. Tidak pula ia mengeluhkan penyakit
diabetesnya yang selalu membuat putriku siaga layaknya seorang ahli gizi. Sepanjang
pengamatanku, tubuhnya bugar dengan kesehatan prima. Bahkan, tiga hari yang
lalu ia masih memaksaku pulang ke kampung halaman untuk menghadiri arisan
keluarga seperti yang kerap dilakukannya selama ini.
Andai saja aku tahu bahwa hari itu adalah
hari terakhirku melihatnya dalam keadaan sehat, mustahil aku menyanggupi
keinginannya. Masih jelas di mataku saat lelaki itu tersandung tatkala kami berpamitan
sebelum pulang. Ia menolak untuk beristirahat kendati beberapa kerabat
memintanya tinggal barang sejenak. Dengan bersikukuh, lelaki itu mengatakan
bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, tidak demikian yang terjadi, disepanjang
perjalanan, bicaranya menjadi kurang jelas seiring penurunan kesadaran.
Segera kami melarikannya ke rumah sakit untuk
mendapat pertolongan. Dan sejenak aku merasa kakiku tak menjejak bumi, ketika
hasil CT scan menunjukkan bahwa
terjadi pendarahan di otak lelaki yang amat kucintai itu.
Bergantian aku dan putra-putriku, menunggui ayah
mereka yang dirawat di ruang ICU, walau kami tak diperkenankan berada di
sampingnya. Hingga akhirnya, hari ini tepat hari ketiga dirawat, suamiku
mengalami gagal nafas akibat penyumbatan pembuluh darah otak.
Ya... Rabb, sekali lagi duniaku terasa
terbalik. Ada sesuatu yang hilang bersama kepergiannya. Namun, itu semua memang
sudah menjadi takdir lelaki yang amat kukasihi. Hingga aku hanya bisa mengembalikan
semua pada kuasa-Nya.
Sirine panjang meraungkan luka kembali
terdengar. Membuatku terjaga dari lamunan yang menyertai perjalanan. Bendera
putih penanda duka berkibar di jalan depan rumah menyambut kedatangan kami.
Sosok ragilku yang tak sempat menemani kepergian ayahnya, berlari menyongsong kami
dengan mata memerah.
Kuatkan kami
Yaa... Rabb, batinku lirih. Kupeluk ketiga
anakku erat, seraya menyediakan bahu untuk berbagi kesedihan.
|||
Mempawah,
September 2014.
Cerita yang kubaca di bening mata Ibu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar